Tahun lalu Pak Rebby mendapat mandat menjadi Imam dan Khotib Sholat Idul Adha. Tugas yang tidak bisa ditolak, waktu itu. Beliau baru dua kali itu menjalani tugas menjadi khotib. Suasana yang jauh dari kesakralan seperti yang diharapkan beliau, membuatnya berazam, sebisa mungkin di tahun-tahun mendatang tak lagi mengulanginya. Inilah nukilan text khutbah tersebut, yang diambil dari beberapa sumber :
Hadirin yang kami
mulyakan dan dirahmati Allah.
Hari Raya Kurban yang
pelaksanaannya bersamaan dengan ibadah haji, adalah ibadah yang penuh dengan
makna, yang dipenuhi dengan simbol-2 ritual yang mengingatkan kita pada
peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail. Sebuah
ibadah yang penuh pengabdian, pengorbanan, pe-nyerahan, kepasrahan dan ketaatan
diri kepada Allah SWT. Dari sekian simbol ritual ibadah haji, korban adalah
simboli puncak dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk
mengorban kan, menyembelih putranya Ismail. Dinamakan kurban karena momen
“penyembelihan” oleh Nabi Ibrahim merupakan simbol untuk mendekatkan diri
(qurban) kepada Allah SWT, Sang Pencipta, untuk menyerahkan segala yang
dimiliki dan dicintainya.
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu !" ia menjawab: "Wahai bapakku, kerja-kanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Betapa goncang hati Nabi Ibrahim ketika menerima wahyu yang luar biasa beratnya ini. Tetapi wahyu itu adalah perintah Allah, perintah untuk menyembelih Ismail, buah hatinya. Konflik pun terjadi dalam batinnya. Siapakah yang lebih disayanginya ? Allah ataukah anaknya ? Anaknya ataukah Allah ? Mengikuti perintah Allah atau menuruti perasaan manusiawinya untuk menyayangi anaknya ? Nabi Ibrahim menghadapi dua pilihan yang sangat berat : mengikuti perasaan hatinya dengan “menyela-matkan Ismail” atau mentaati perintah Allah dengan “mengorbankannya”. Dia harus memilih salah satu di antara dua. Jika saja yang diperintah-kan Allah adalah agar ia mengorbankan dirinya sendiri, maka hal itu mudah bagi beliau untuk menentukan pilihan. Walau demikian dengan ketegu-han hati, Nabiyullah Ibrahim as lebih mendahulukan perintah Allah dan mengorbankan rasa sayang pada anaknya.
Kilasan kisah di atas, memberikan tauladan kepada kita, bahwa saat perintah dan hukum Allah SWT datang, di manapun dan kapanpun, maka apapun harus kita korbankan. Bagi seorang mukmin, hukum dan perintah Allah harus di atas segala-galanya.
Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Ayat di atas meletakkan keluarga, orang tua, saudara, harta, usaha bisnis, tempat tinggal dan tanah air, pada satu sisi. Serta cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yakni beriman kepada Allah dan Rasul, taat kepada-Nya dan Jihad fi Sabilillah pada sisi lainnya. Idealnya adalah kita mendampingkan dua hal di atas yakni cinta pada orang tua, harta benda, istri, anak-anak, tempat tinggal dan tanah air dengan cinta kepada Allah dan Rasul. Tetapi jika dalam kondisi tertentu kita tak mampu menseja-jarkan keduanya, maka seorang muslim sejati akan mengutamakan taat kepada Allah, Rasul dan Jihad serta rela mengorbankan segala-galanya demi ketaatan kepada Sang Pencipta, Allah jalla wa azza.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pengertian “ ... maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusannya .. “ dengan makna tunggulah adzab dan balasan yang akan ditimpakan kepada kalian. Adzab yang dimaksud adalah meliputi adzab di dunia dan di akherat.
Ancaman ini merupakan pertanda wajibnya mengor-bankan segala galanya untuk ketaatan kepada Allah. Jelaslah bahwa pengorbanan hanyalah dalam rangka ketaatan, dan karena itu "ismail” apapun yang kita miliki harus siap kita korbankan. Siapakah, atau apakah “ismail”kita itu ?
Ismail kita adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman kita, setiap segala sesuatu yang menghalangi kita menuju taat, setiap sesuatu yang membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri, setiap sesuatu yang membuat kita tidak mau mendengar perintah Allah dan menyatakan kebenaran, setiap sesuatu yang memalingkan kita dari mensegerakan diri memenuhi panggilan Allah dan karenanya kita menunda-nundanya, segala sesuatu yang membuat kita mengabaikan amanah Allah, segala sesuatu yang membuat kita mengabaikan, meremehkan dan mengakali aturan Allah, segala sesuatu yang membuat kita malas belajar atau bekerja, setiap kenikmatan yang membuat kita terlena, setiap sesuatu yang menyebabkan kita mencari-cari ribuan alasan, ribuan dalih, untuk menghindari tanggung jawab. Bisa juga ismail kita adalah sosok mukidi dg kekonyolan dan kebadungan ulah dan kisahnya, yg kehadirannya selalu kita tunggu-2, yg membuat kita mampu berlama-2 memandangi layar HP kita sambil senyum-2 sendiri dan membuat bangga jika kita berhasil nge-share ke BBM, Facebook atau ke group WA kita. Maka korbankanlah “ismail” kita !
Pertama, Meyakini aqidah Islamiyah dengan keyakinan yang jazm (pasti) disertai pengamalan nyata, tak hanya dalam ucapan belaka. Termasuk di dalamnya meyakini bahwa Allah lah Pemberi dan Pengatur rizki, Dialah Penolong. Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Bila kita yakini hal ini, maka hidup tak akan diliputi sifat pengecut dan bertindak curang. Jangan hanya karena ketakutan tidak mendapatkan proyek, bantuan, keuntungan, tidak mendapatkan upah atau gaji, jika tak bertindak curang, maka kita terus dengan tenangnya memalsu, mengarang-ngarang, mereka-reka dan memanipulasi data. Itu sama artinya kita tak meyakini betul, bahwa Allah Maha Pemberi Rizki, dan rizki masing-2 kita telah ditetapkan-Nya, jauh sebelum kelahiran kita ke dunia ini. Bila hal ini menghunjam di dada, niscaya seorang muslim tidak akan gentar menghadapi segala macam ancaman, tantangan dan hambatan serta memiliki jiwa pengorbanan yang tinggi dalam melaksanakan perintah dan hukum Allah.
Kedua, Memahami bahwa syariat/hukum Islam memastikan terwujudnya kebahagiaan bagi manusia secara keseluruhan. Namun syarat tercapainya kebahagiaan tersebut adalah taqwa kepada Allah, dan mengikuti hukum-2 Nya. Taqwa kepada Allah merupakan syarat kebahagiaan, artinya aturan Allah merupakan buah hati bagi orang yang bertaqwa. Oleh karena itu seorang mukmin bahagia dengan melaksanakan Islam. Bila hal ini dimilliki orang muslim, niscaya ia rela berkorban demi aturan Allah, karena di situlah letak kebahagiaannya. Sebab semua pengorbanan yang ia lakukan hanyalah untuk menggapai ridho Allah. Dan mendapatkan ridho Allah adalah kebahagiaan hakiki bagi seorang muslim.
0 komentar:
Posting Komentar