Berubahnya pemegang kendali kekuasaan seringkali membawa perubahan
pada kebijakan. Termasuk pada kebijakan seragam pegawai/guru. Guru yang awalnya
tiap hari Senin sampai hari Kamis berseragam PSH Abu-abu yang “guru"
banget itu, di hari Rabu nya diganti dengan hem putih, bawahan hitam. Awal penerapan
seragam ini, banyak siswa terkesan dan bertanya tentang penampilan Bapak/Ibu
Gurunya yang lain dari pada hari sebelumnya. “Mau ada acara apa to Pak ?”,
tanya mereka. “Wah, ... Pak Rebby seperti mau ijab qobul di depan penghulu saja”.
Komentar Ibu Mitchel.
Memang dengan seragam ini, kesan dan
penampilan Bapak Ibu Guru menjadi seperti bukan seorang guru saja. Di
sekolah Pak Rebby, Bapak Ibu Guru secara
mandiri membeli sendiri seragam ini, ada yang beli jadi, ada yang memang sebelumnya
sudah memiliki baju putih, ada pula yang beli kain dan menjahitkannya. Dan
tidak ada masalah dengan pengadaan seragam hitam putih ini. Bagi Pak Rebby
sendiri, justeru ini adalah moment yang sangat baik untuk memakai baju yang
sudah berumur sekitar 17 tahun yang sangat jarang dipakai oleh beliau. Ya, ... baju putih yang dikenakannya saat
mengucap ikrar Mitsaqon Ghaliza, dengan calon istri Pak Rebby kala itu. Hingga suatu ketika, dalam sebuah
kesempatan rapat dinas, terungkaplah kebaikan dan kemurahan hati para pimpinan
instansi, termasuk di tempat Pak Rebby mengajar. Pemimpin Paguyuban Instansi
berinisiatif mengkoordinir pengadaan (pembelian) seragam ini. Secara bisnis,
ini memang lahan yang cukup luar biasa lumayan menguntungkan. Bagi sekolah
besar dan favorit, tidak jadi masalah, karena mereka memiliki unit usaha cukup
banyak dan bervariatif dengan omzet dan keuntungan yang besar. Namun bagi
sekolah kecil, sekelas sekolah Pak Rebby, pemberian seragam kepada guru-guru
yang kurang lebih Rp. 250.000 per guru, bukanlah hal mudah dan kecil. Karenanya
dengan terpaksa, karena kondisi keuangan yang tidak atau belum memungkinkan,
dengan berlinang air mata kesedihan, Bapak Kepala memutuskan untuk belum bisa
membelikan seragam putih hitam secara gratis kepada Bapak Ibu Guru di sekolah
yang dipimpinnya. Plus dengan permohonan maaf yang sedalam-dalam dan
setulus-tulusnya. “Mohon maaf Bapak Kepala, seyogyanya Bapak tidak perlu
terlalu baper dengan masalah ini. Seperti Bapak ketahui, tiap hari Rabu kami
semua sudah berseragam putih hitam. Dan menurut saya, ini bukan kebutuhan urgen
dan mendesak Pak. Apalagi kalau kita sampai “ngoyo” menyisihkan uang dari
pos-pos unit usaha yang ada, atau terlebih kalau kita sampai harus mengambil
uang dari dana yang tak seharusnya diambil untuk keperluan ini. Selain kasihan pada bendahara yang
harus mengatur, memanipulasi dan
merekayasa laporan, dan yang pasti ini nggak bener Pak,... juga dikhawatirkan
muncul masalah di belakang hari. Seperti kasus pemberian kain seragam oleh
pemimpin daerah yang ternyata berbau anyir korupsi hingga menyeret dan
menjebloskan Pejabat tinggi Daerahnya”, kata Pak Rebby seusai Bapak Kepala menyampaikan keprihatinannya
dengan air mata menjuntai di pipi beliau. Sayangnya
pernyataan Pak Rebby yang penuh dengan ke-empati-an ini hanya beliau sendiri
yang mendengarnya. Karena ternyata pernyataan Pak Rebby hanya di dalam hati
beliau saja. Perihal kain jatah dari daerah yang bermasalah tadi, milik Pak
Rebby yang sudah terlanjur dikirim ke penjahit, begitu mengetahui kain tersebut
bermasalah, beliau langsung konfirmasi pada penjahitnya, apakah kain tersebut
sudah dipotong dan dijahit. Dan ketika ternyata kain tersebut belum dijahit, ,
maka maka Pak Rebby meng-cancel-nya. Dan jadilah kain itu sebagai kerodong
sangkar “Jack Mento”, burung kacer kesayangan beliau. (26 Rabiul Awal
1438. 23-2-2017)
0 komentar:
Posting Komentar