Tahun lalu Pak Rebby mendapat mandat menjadi Imam dan Khotib Sholat Idul Adha. Tugas yang tidak bisa ditolak, waktu itu. Beliau baru dua kali itu menjalani tugas menjadi khotib. Suasana yang jauh dari kesakralan seperti yang diharapkan beliau, membuatnya berazam, sebisa mungkin di tahun-tahun mendatang tak lagi mengulanginya. Inilah nukilan text khutbah tersebut, yang diambil dari beberapa sumber :
Hadirin yang kami
mulyakan dan dirahmati Allah.
Hari Raya Kurban yang
pelaksanaannya bersamaan dengan ibadah haji, adalah ibadah yang penuh dengan
makna, yang dipenuhi dengan simbol-2 ritual yang mengingatkan kita pada
peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as, Siti Hajar, dan Ismail. Sebuah
ibadah yang penuh pengabdian, pengorbanan, pe-nyerahan, kepasrahan dan ketaatan
diri kepada Allah SWT. Dari sekian simbol ritual ibadah haji, korban adalah
simboli puncak dari rangkaian ujian berat yang dialami oleh Nabi Ibrahim untuk
mengorban kan, menyembelih putranya Ismail. Dinamakan kurban karena momen
“penyembelihan” oleh Nabi Ibrahim merupakan simbol untuk mendekatkan diri
(qurban) kepada Allah SWT, Sang Pencipta, untuk menyerahkan segala yang
dimiliki dan dicintainya.
Ma'asyiral muslimin rahimani warahimakumullah
Nabiyullah Ibrahim AS
adalah contoh pejuang yang gigih dan penuh kesabaran dalam membimbing kaum nya
ke jalan Allah SWT. Sekalipun berjuang cukup lama, namun beliau belum juga
dikarunia seorang anak. Beliau sangat mendambakan seorang anak untuk
melanjutkan keturunan dan perjuangannya.
Doa beliau pun diabadikan dalam Qur’an, yang artinya : Ya
Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
saleh. (QS As-Shafaat : 100)
Allah
pun akhirnya mengabulkan permohonan Nabi Ibrahim, dengan mengkaruniakan seorang
anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Dalam QS As-Shafaat ayat 101, Allah
berfirman yang artinya : Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang sangat sabar.
Namun
buah hati yang didambakan dan dinantikan kelahirannya hingga usianya hampir 100
tahun itu ternyata diminta oleh Allah agar dikorbankan. Allah SWT memerintahkan
untuk menyembelih Ismail sebagai termaktub dalam QS As-Shafaat 102, yang
artinya :
Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu !" ia menjawab:
"Wahai bapakku, kerja-kanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Betapa goncang hati Nabi Ibrahim ketika menerima
wahyu yang luar biasa beratnya ini. Tetapi wahyu itu adalah perintah Allah,
perintah untuk menyembelih Ismail, buah hatinya. Konflik pun terjadi dalam
batinnya. Siapakah yang lebih disayanginya ? Allah ataukah anaknya ? Anaknya
ataukah Allah ? Mengikuti perintah Allah atau menuruti perasaan manusiawinya
untuk menyayangi anaknya ? Nabi Ibrahim menghadapi dua pilihan yang sangat
berat : mengikuti perasaan hatinya dengan “menyela-matkan Ismail” atau mentaati perintah Allah dengan
“mengorbankannya”. Dia harus memilih salah satu di antara dua. Jika saja
yang diperintah-kan Allah adalah agar ia mengorbankan dirinya sendiri, maka hal
itu mudah bagi beliau untuk menentukan pilihan. Walau demikian dengan
ketegu-han hati, Nabiyullah Ibrahim as lebih mendahulukan perintah Allah dan
mengorbankan rasa sayang pada anaknya.
Kilasan
kisah di atas, memberikan tauladan kepada kita, bahwa saat perintah dan hukum
Allah SWT datang, di manapun dan kapanpun, maka apapun harus kita korbankan.
Bagi seorang mukmin, hukum dan perintah Allah harus di atas segala-galanya.
ALLOHU AKBAR ALLOHU AKBAR WALILLAHILHAAM
Ma'asyiral muslimin rahimani warahimakumullah
Dalam
memahami apa dan untuk apa seorang muslim melakukan pengorbanan, mari
perhatikan firman Allah di dalam Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 24 yang artinya
:
Katakanlah:
"Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum
keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari
Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.
Ayat
di atas meletakkan keluarga, orang tua, saudara, harta, usaha bisnis, tempat
tinggal dan tanah air, pada satu sisi. Serta
cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yakni beriman kepada Allah dan Rasul, taat
kepada-Nya dan Jihad fi Sabilillah pada sisi lainnya. Idealnya adalah kita
mendampingkan dua hal di atas yakni cinta pada orang tua, harta benda, istri,
anak-anak, tempat tinggal dan tanah air dengan cinta kepada Allah dan Rasul.
Tetapi jika dalam kondisi tertentu kita tak mampu menseja-jarkan keduanya, maka
seorang muslim sejati akan mengutamakan taat kepada Allah, Rasul dan Jihad
serta rela mengorbankan segala-galanya demi ketaatan kepada Sang Pencipta, Allah jalla wa azza.
Ibnu
Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa pengertian “ ... maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusannya .. “ dengan makna tunggulah adzab dan balasan
yang akan ditimpakan kepada kalian. Adzab yang dimaksud adalah
meliputi adzab di dunia dan di akherat.
Ancaman
ini merupakan pertanda wajibnya mengor-bankan segala galanya untuk ketaatan
kepada Allah. Jelaslah bahwa pengorbanan hanyalah dalam rangka ketaatan, dan
karena itu "ismail” apapun yang kita miliki harus siap kita korbankan.
Siapakah, atau apakah “ismail”kita itu ?
Ismail kita adalah setiap sesuatu yang melemahkan
iman kita, setiap segala sesuatu yang menghalangi kita menuju taat, setiap
sesuatu yang membuat kita hanya memikirkan diri kita sendiri, setiap sesuatu
yang membuat kita tidak mau mendengar perintah Allah dan menyatakan kebenaran,
setiap sesuatu yang memalingkan kita dari mensegerakan diri memenuhi panggilan
Allah dan karenanya kita menunda-nundanya, segala sesuatu yang membuat kita
mengabaikan amanah Allah, segala sesuatu yang membuat kita mengabaikan,
meremehkan dan mengakali aturan Allah, segala sesuatu yang membuat kita malas
belajar atau bekerja, setiap kenikmatan yang membuat kita terlena, setiap
sesuatu yang menyebabkan kita mencari-cari ribuan alasan, ribuan dalih, untuk
menghindari tanggung jawab. Bisa juga ismail kita adalah sosok mukidi dg kekonyolan dan
kebadungan ulah dan kisahnya, yg kehadirannya selalu kita tunggu-2, yg membuat
kita mampu berlama-2 memandangi layar HP kita
sambil senyum-2 sendiri dan membuat bangga jika kita berhasil nge-share ke BBM, Facebook atau ke group
WA kita. Maka korbankanlah “ismail” kita !
ALLOHU AKBAR ALLOHU AKBAR WALILLAHILHAAM
Ma'asyiral muslimin rahimani warahimakumullah
Lalu
bagaimana upaya-2 kita agar kita mampu menumbuhkan jiwa berkorban ? Minimal
hal-hal berikut harus kita hunjamkan ke dalam jiwa kita, dalam sanubari kita,
agar kita memiliki jiwa berkorban :
Pertama, Meyakini aqidah Islamiyah dengan keyakinan yang jazm
(pasti) disertai pengamalan nyata, tak hanya dalam ucapan belaka. Termasuk di
dalamnya meyakini bahwa Allah lah Pemberi dan Pengatur rizki, Dialah Penolong.
Dialah yang menghidupkan dan mematikan. Bila kita yakini hal ini, maka hidup
tak akan diliputi sifat pengecut dan bertindak curang. Jangan hanya karena
ketakutan tidak mendapatkan proyek, bantuan, keuntungan, tidak mendapatkan upah
atau gaji, jika tak bertindak curang, maka kita terus dengan tenangnya memalsu,
mengarang-ngarang, mereka-reka dan memanipulasi data. Itu sama artinya kita tak
meyakini betul, bahwa Allah Maha Pemberi Rizki, dan rizki masing-2 kita telah
ditetapkan-Nya, jauh sebelum kelahiran kita ke dunia ini. Bila hal ini
menghunjam di dada, niscaya seorang muslim tidak akan gentar menghadapi segala
macam ancaman, tantangan dan hambatan serta memiliki jiwa pengorbanan yang
tinggi dalam melaksanakan perintah dan hukum Allah.
Kedua, Memahami bahwa syariat/hukum Islam memastikan terwujudnya
kebahagiaan bagi manusia secara
keseluruhan. Namun syarat tercapainya kebahagiaan tersebut adalah taqwa kepada
Allah, dan mengikuti hukum-2 Nya. Taqwa kepada Allah merupakan syarat
kebahagiaan, artinya aturan Allah merupakan buah hati bagi orang yang bertaqwa.
Oleh karena itu seorang mukmin bahagia dengan melaksanakan Islam. Bila hal ini
dimilliki orang muslim, niscaya ia rela berkorban demi aturan Allah, karena di
situlah letak kebahagiaannya. Sebab semua pengorbanan yang ia lakukan hanyalah
untuk menggapai ridho Allah. Dan mendapatkan ridho Allah adalah
kebahagiaan hakiki bagi seorang muslim.
Ketiga, menjauhi hubbud dunnya, yakni menghin-dari kecintaan yang
berlebih pada harta benda dunia. Dan meyakini bahwa kehidupan akherat adalah
jauh lebih baik dan kekal. Dan kehidupan yang sejati sebenarnya adalah
kehidupan akherat. Jika kita kaum muslimin mampu menjauhkan diri dari kecintaan
dunia ini, maka ketika Allah mengambil kembali apa-apa yang dititipkan kepada
kita berupa harta, anak-anak, istri, jabatan, pangkat kedudukan bahkan raga dan
nyawa kita, maka kita akan memiliki kepasrahan dan keikhlasan yang luar biasa.
Juga ketika itu semua harus kita korbankan demi tegaknya kalimat Allah, demi
menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, maka kepasrahan dan
keikhlasanlah yang akan kita rasakan. Dan hal ini tidak pernah akan terjadi
kepada mereka yang memiliki hubbud dunnya, terlebih dengan diikuti penyakit “karahiya-tul maut”, yakni takut akan
mati. Satu penyakit mematikan yang karenanya Islam carut marut dan
tercabik-cabik oleh bangsa-bangsa lain.
ALLOHU AKBAR ALLOHU AKBAR WALILLAHILHAAM
Ma'asyiral muslimin rahimani warahimakumullah
Dengan butir-2 pengertian di
atas, yang sudah menghunjam di dada kita, akan membuat kita rela, senang hati
dan menikmati pengorbanan dalam menjalankan perintah-2 Allah, dalam menegakkan
kalimat-2 Allah, di segenap aspek kehidupan kita. Dan jiwa serta semangat
berkorban seperti inilah yang sangat diperlukan dalam membangun bangsa ini.
Semangat yang menggelora dari para Generasi Muda dan tua, untuk mengorbankan
waktu dan kesenangannya, dalam rangka menuntut ilmu, dalam belajar, dalam
bekerja, berkarya, dalam mengemban amanah, dalam membangun negeri, dalam
mengejar ketertinggalan dari bangsa-2 lain yang sekian tahun lalu tertinggal
jauh di belakang bangsa kita. Semangat
yang mendalam untuk menegakkan ajaran dan syariat Islam di negeri ini, dalam
menghadapi Ghazwul Fikri dan Ghazwul Tsaqofi, perang pemikiran dan perang
kebudayaan yang dilancarkan dengan gencar oleh agen-2 kufar barat di negeri-2
Islam termasuk di Indonesia. Betapa mereka dengan gencarnya menyusupkan melalui
paham-2, ideologi, serta melalui teknologi dan menanamkan ajaran serta budaya-2
yang merusak mental serta menjauhkan generasi muda dari adat, etika dan norma-2
bangsa serta agama. Betapa generasi muda dan generasi tua dilenakan dengan
game-2, wahana-wahana media sosial pembuang waktu, yang melenakan dan
menyibukkan mereka dengan sesuatu yang sia-sia, remeh temeh, bahkan menjeru-mus
pada hal-2 berbau seronok, tidak pantas, tabu dan porno. Terlebih bila yang
terpapar virus-2 ini adalah seorang Guru yang notabene sebagai Agent of Change,
Agen Perubahan bagi mental dan moral generasi penerus, maka tak bisa kita
bayangkan, bagaimana kondisi republik ini sekian generasi mendatang.
Na'udzubillahi min dzalik, tsumma na'udzubillah.
Ma'asyiral muslimin rahimani warahimakumullah
Akhirnya, marilah kita selalu
berdoa semoga Allah SWT senantiasa memberikan kekuatan kepada kita, memberi
petunjuk dan hidayah-Nya agar kita selalu memiliki semangat pengorbanan dan
keikhlasan yang berkobar menyala-2 di hati kita, dalam segala hal, dalam segala
kondisi, dalam kerangka ibadah, ketaqwaan, kebaikan dan “amal sholeh”. Semoga kita mampu
mengorbankan ”ismail-ismail” kita untuk mendekatkan diri kita kepada Allah SWT,
untuk menjalankan perintah-perintahNya seberat apapun dia, serta menjauhi
larangan-larangan-Nya seberapa pun ringanya ia.
Sabtu 8 Dzulhijja 1437 10 Sept 2016