free counters


My site is worth $2022.1.
Berapa harga Blog/Web Anda?

WHO KNOWS, WHO IS ACTUALLY THE GREAT AND THE MOST TERRORIST IN THE WORLD ?

Selasa, 26 Februari 2013

No TV at all ? Bisakah ? (Final)

TV si kotak ajaib memang sungguh ajaib dan mampu menyihir siapapun yg melihatnya. Tak terkecuali saya. Program acara yg paling menjadi favorit & melenakan adalah Film. Menyadari ketidak mampuan mengontrol diri dalam terbuai acara TV & sadar atas madharat sebagai mana yang pernah saya tulis di Buletin Al-Istinar, maka jauh sebelum membina keluarga (semoga menjadi keluarga yg samawa) saya telah bertekad jika nanti memiliki keluarga, tidak akan ada TV di rumah.
Namun seiring rasa sayang kakek pada cucunya, TV 29' pun akhirnya menghiasi sudut rumah, juga. Dan melihat TV menjadi salah satu agenda acara di rumah. Tak jarang bila tengah malam terbangun & tak bisa tidur lagi, hati tak lagi tergerak mengambil wudhu & menggelar sajadah. Namun justeru ambil remote dan mengikuti acara TV, yang sampai jam berapapun tersedia. Jadilah bermunajah pada sang kotak setan sihir ajaib ini, menghiasi malam-malam bahkan dari sepertiga malam yg mestinya sangat mulia.
Mbak Nuzi, sang kakak, jika sudah berada di depan TV, seperti anak linglung yg tersihir dengan abai & tidak peduli dengan lingkungan. Ketika ditanya, pasti jawaban dari pertanyaan akan diawali dg kata "ha ?" atau "he ?". Hauzan si kecil pun sudah mulai punya acara kegemaran. Tak jarang pada saat nonton TV berebut acara dg kakaknya. Jangankan si kecil dg kakaknya, Ayah dg anaknya saja sering beradu mulut dalam memperebutkan acara kegemaran masing-masing. Akan halnya ibunya, Alhamdulillah tidak maniac sama sekali terhadap TV dg segala acara yg sedang dilihat oleh anak atau suaminya.
Hingga pada suatu ketika  ... terjadi suatu hal yang membuka mata saya, mengembalikan tekad saya untuk tidak ada TV di rumah, bahwa betapa berbahayanya jika keberlangsungan keberadaan TVdi rumah ini saya pertahankan. Bagaimana tidak, jika seorang kakek yang tentunya sangat menyayangi cucu-cucunya dan harusnya sangat bahagia ketika cucunya berkunjung ke rumah sang eyang, sang cucu harus menangis sejadinya karena harus berebut acara TV dengan kakeknya, dan tentu saja sang kakek yang menang. Luar biasa bukan, daya pengaruh TV ? Atas kejadian ini pun, maka saya bulatkan tekad meniadakan TV di rumah. TV pun saya bawa ke ruang kantor saya. Ada memang komplain dari anak-anak dan ibunya, mengingat sang ayah bukanlah pemilik dari TV tersebut. Tapi demi kebaikan semua, keputusan tetap saya ambil. Namun hari-hari tanpa TV yg sebenarnya mampu kami lalui, tak berlangsung lama ketika bude nya anak-anak menghibahkan sebuah TV untuk si kecil. Mulailah kami asyik dengan acara TV lagi. Waktu-2 di rumah lebih akrab di depan si layar ajaib ini. Anak-2 merasa tak lagi butuh teman bermain. Semuanya sudah terwakili oleh si TV ini. Kembali muncul keninginan mengembalikan niat mulia semula. No TV at home. Tindakan frontal pun saya ambil dengan memotong kabel antene TV. Saat si Kakak menyalakan TV dan ternyata tidak muncul gambar seperti biasanya, mulailah dia panik, geram, marah jadi satu. Meski secara halus argumen disampaikan, tak juga sang Kakak yg waktu itu duduk di kelas IV atau III SD, bisa menerima. Seperti bayi yang "disapih", berhenti dari minum ASI, sang Kakak terlihat stress, blingsatan, marah, putus asa. Hingga nekat bermaksud menyambung sendiri kabel antene yang terputus. Hampir-2 hati ini luluh dg kondisi anak yg demikian. Tapi tekat yang kuat mengalahkan rasa iba di hati.
Butuh waktu cukup lama memulihkan kondisi batin anak akibat "disapih TV". Namun usaha kami membawa hasil juga. Anak-2 dan juga Ayahnya, sudah mulai terbiasa hidup tanpa menonton TV, di rumah, hingga saat ini. Dan ketika Ikatan Orang Tua Wali Murid di SD anak saya mengadakan Program "Matikan TV saat jam anak belajar", saya pun didaulat menjadi nara sumber dari pengalaman upaya "No TV at all di Rumah". Serta diminta menulis artikel dalam Rubrik Pendidikan di Buletin Sekolah Al-Busyro, yang juga saya posting di blog "TV Si Kotak (Setan) Ajaib". Semoga tekat ini menjadi salah satu upaya menghindarkan terkontaminasinya pikiran dari hal-hal yang tidak diharapkan. Kalau untuk "NO internet", Mas Topek, .. nantinya kita nggak bisa komunikasi lagi dong ?? Kan saya belum diberi nomer HP nya Mas Topek ?? Iya kan Kak Nhinis ?

Read more »

Kamis, 21 Februari 2013

Hebatnya Pejabatku

Entah apakah hanya di Indonesia saja, .. para pejabat yang menempati pos-pos penting itu sering kali seperti kutu loncat. Artinya, dengan latar belakang, apakah itu pendidikan atau apapun, sering kali di banyak kasus, usai menempati satu pos kemudian pindah atau dipindah ke pos yang lain yang kadang tidak terkait sama sekali dengan pos sebelumnya. Misal seorang Menteri, periode sebelumnya menjabat sebagai Menteri Keuangan, periode berikutnya Menteri Pendidikan, periode berikutnya Menteri Kehutanan. Apakah ini menunjukkan kehebatan pejabat kita yang mampu memegang segala jenis bidang yang diemban, atau sebaliknya, kurang adanya wawasan pejabat diatasnya dalam mengakomodir potensi-potensi pejabat yang ada. Atau memang tidak ada lagi orang yang dianggap mampu memegang jabatan tersebut. Lebih lucunya lagi, ketika pejabat yang diserahi tugas tersebut jelas-jelas menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki latar belakang pendidikan, pengalaman dan kompetensi untuk memegang bidang yang diamanahi, namun atasan pejabat tersebut tetap ngotot menempatkan dia dalam pos jabatannya.Di tingkat yang lebih bawah pun terjadi hal yang tak berbeda. Seorang berlatar belakang dokter gigi misalnya, meski akhirnya menempuh studi lagi, periode sebelumnya ditempatkan di Dinas Pekerjaan Umum, periode berikutnya di Dinas Transmigrasi, kemudian di Dinas Pendidikan. Inilah fakta, ketika sebuah jabatan lebih bertendensi pada politik, dan bukan profesionalitas. Sehingga ketidak efektifan sering terjadi akibat pejabat baru memerlukan waktu yang cukup, sekedar untuk menyesuaikan diri. Bukannya "ISI langsung START !"
Read more »

Senin, 11 Februari 2013

Memuliakan Orang Tua Tanpa Syarat & Batas Usia

Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya. Datanglah seorang lelaki dari Bani Salamah lalu berkata, “Ya Rasulullah, apakah masih ada kesempatan lagi untuk berbuat baik kepada kedua orangtuaku, setelah keduanya meninggal?” Nabi menjawab, “Mendoa’kan keduanya, memintakan ampun untuk keduanya, menyambung tali silahturahim kerabat-kerabatnya, dan memuliakan teman-temannya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)  
Do’akan dan Mohonkan Ampunan 
Salah satu kewajiban utama anak kepada kedua orangtuanya adalah mendo’akan mereka. Allah Subhanahu Wataa’ala memerintahkan :
 وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيراً 
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku di waktu kecil,” (QS: Surat Al Isra’ : 24). Imam Bukhari meriwayatkan, “Setelah mati, mayit itu aku diangkat derajatnya, kemudian berkata, ‘Wahai Tuhanku, ada apa ini?” Tuhan berfirman kepadanya, “Anakmu memohonkan ampun untukmu.” Namun demikian, do’a dan ampunan akan terkabul manakala yang dido’akan adalah sesama muslim, dan bukan termasuk orang-orang musyrik. Sebagaimana pernah dilakukan Nabi Muhammad saat mendo’akan ibunya. Sekalipun Nabi telah menghiba sedemikian rupa di hadapan Allah, tetapi Allah tetap menolak do’a beliau untuk mengampuni ibunya. Imam Muslim meriwayatkan, “Suatu saat Rasulullah berziarah ke kubur ibunya, lalu menangis dan menjadikan orang-orang yang disekelilingnya menangis. Beliau bersabda, "Saya mohon izin kepada Rabbku untuk memintakan ampun buat ibuku, maka Dia tidak mengabulkan (tidak mengizinkan). Lalu saya mohon izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya. Kemudian Dia mengizinkannya. Maka dari itu berziarahlah ke kubur, karena dapat mengingatkan kepada kematian. Nabi Nuh juga pernah mendo’akan anaknya, agar Allah berkenan mengampuni anaknya. Akan tetapi Dia menolaknya. Sama pula pada Nabi Ibrahim, hasilnya nihil saat beliau mendo’akan orangtuanya. Allah menolak doa’nya. 
Menyambung Tali Silahturahim 
Teladan dalam bidang silahturahim ini salah satunya adalah Ibnu Umar RA. Biasanya, Ibnu Umar ke Mekkah membawa himar dan unta. Bila merasa jemu mengendarai unta, maka ia mengendarai himar. Dan pada suatu hari ketika ia sedang mengendai himarnya, mendadak bertemu dengan seorang Badui. Maka Ibnu Umar bertanya, “Bukanlah kau si Fulan bin Fulan.” Jawabnya, “Benar.” Selanjutnya, diberikanlah himar dan sorbannya kepada Badui itu. Kawan-kawannya tertegun, lalu bertanya kepada Ibnu Umar. “Semoga Allah melimpahkan ampunan kepadamu, mengapa kau berikan himar dan sorban kepada si Badui itu?” Ibnu Umar menjawab, “Saya telah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik bakti (kepada orangtua) adalah menghubungi bekas kawan-kawan ayah sepeninggalnya. Dan ayah orang ini dahulu teman (ayahku) Umar.” (Riwayat Muslim) 
Melunasi Hutang-hutang Nadzarnya 
Misalnya orangtua memiliki nadzar (janji) untuk melakukan amal shaleh, namun belum sempat ditunaikan karena Allah berkenan memanggil menghadap keharibaanNya. Inilah tanggung jawab mulia anak shaleh, yaitu berupaya menunaikan “amanah” yang dipikul orang tuanya. “Seorang perempuan dari suku Khas’an datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahi alaihi Wassalam; ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya datangnya perintah Allah kepada hamba-Nya untuk pergi haji pada saat ayahku telah lanjut usia, tidak mampu lagi duduk di atas kendaraan. Karena itu bolehkah saya berhaji atas namanya?” Sabdanya, “Boleh.” (Riwayat Bukhari Muslim) 
Menjaga Nama Baik Kedua Orangtua 
Barangkali tanpa disadari atau bahkan disengaja, seseorang seringkali melakukan perbuatan yang menjatuhkan harga diri dan kredibilitas kedua orangtua. Akibatnya, meski orangtua sudah meninggal tetapi sang anak juga masih bisa durhaka kepada orangtua. Dalam menjaga nama baik orangtua itu, kita juga dilarang memaki atau melecehkan orangtua lain. Memaki orangtua lain itu sama dengan kita memaki orangtua sendiri. “Di antara dosa-dosa besar ialah seseorang memaki ayah bundanya. Sahabatnya bertanya, ‘Ya Rasulullah, adakah seseorang yang memaki ayah bundanya? Rasulullah bersabda, “Benar. Dia memaki ayah orang lain sehingga dimakilah ayahnya dan dia memaki ibu orang lain dan dimakilah ibunya,” (Riwayat Muslim) 
Membayarkan Hutang 
Ketika seseorang meninggal sementara masih memiliki tanggungan hutang, maka hutang tersebut bakal menghalangi seseorang menuju surga. “Jiwa seseorang mukmin tergantung kepada hutangnya, sampai dilunasi,” (Riwayat Ahmad) Bahkan seorang mujahid yang mati syahid sekalipun akan tertahan masuk surga manakala masih memiliki tanggungan hutang. Ada seorang bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana pendapatmu jika saya terbunuih dalam jihad fi sabilillah, apakah akan terputus semua dosa-dosaku? Nabi menjawab, “Ya, apabila engkau terbunuh sedangkan engkau tabah, sabar dan ikhlas mengharap ridha Allah, maju dan tidak lari, kecuali (memiliki) hutang. Demikian keterangan Jibril kepadaku,” (Riwayat Muslim). Yang bertanggung jawab melunasi hutang itu adalah anak-anaknya. Imam Bukhari meriwayatkan, seorang perempuan suku Juhinah datang mengadu kepada Nabi, “Ibuku telah bernadzar pergi haji, tetapi beliau belum sempat melakukannya keburu mati. Bolehkan saya menghajikan atas namanya?” Rasulullah menjawab, “Boleh. Hajikanlah atas namanya, sebab bagaimana pendapatmu jika ibumu mempunyai hutang, bukankah kamu yang melunasinya. Karena itu lunasilah hutang kepada Allah sebab Allah lebih patut dilunasi hutangnya.” 
Melanjutkan Amal Shalihnya
Adapun melanjutkan amal shaleh orangtua adalah dengan menjaga hal-hal yang diwariskan orangtua setelah meninggalnya. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang menyusul seorang mukmin setelah kematiannya ialah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnu Sabil yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sodaqoh yang dikeluarkan dari hartanya pada masa sehatnya dan masa hidupnya akan menyusulnya setelah kematiannya.” (Riwayat Ibnu Majah, hadits Hasan).” 

Read more »

Sabtu, 09 Februari 2013

Pagi itu

pagi itu, ....
di sebuah sekolah ...
dua puluh menit, ...
usai bel berdentang, ...
tiga kali, ....
tanda pelajaran awal, ...
dimulai.
tergopoh-gopoh, ...
lima siswa menghampiri, ...
petugas ketertiban, ...
memohon surat ijin, ...
masuk kelas, ...
agar bisa, ...
ikuti pelajaran, ...
pagi itu.
"coba kamu lihat di kelas, ...
sudahkah gurumu ada di dalam, ..."
kata petugas.
satu di antara mereka, ...
sigap melihat ruang kelasnya.
"belum ada Pak, ..."
katanya.
"kalo begitu silakan saja, ...
kamu segera masuk kelas, ...
selagi gurumu belum hadir"
jawab petugas selanjutnya.
kelima siswa dan teman, ...
sekelasnya, ...
menunggu guru mereka, ..
dengan galau dan, ...
kacau suasana.
hingga habis masa, ...
tak jua datang beliau.

empat kali empat puluh menit, ...
berlalu, ...
terdengar suara, ...
knalpot motor, ...
menderu, ...
mengiring hadir beliau.
dengan sekeranjang, ...
barang bawaan, ...
yang harus dijaja, ...
di kantin sekolah, ...
hari itu.
Read more »

Slide

Picture Talk More Slideshow: Anang’s trip to Kabupaten Nganjuk (near Kediri), Java, Indonesia was created by TripAdvisor. See another Kediri slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.
Anang Dwijo Suryanto. Diberdayakan oleh Blogger.

 
Powered by Blogger